Berbagai berita di media massa memberikan informasi bahwa dalam birokrasi kita meritokrasi yang merupakan sebuah kebijakan, ketentuan dan langkah-langkah yang memperhatikan ketentuan kualifikasi minimal, standar kompetensi serta kinerja yang menjadi persayaratan dalam manajemen Sumber daya manusia dalam birokrasi sehingga terbentuk profesionalisme yang diharapkan belum dapat terwujud, di sisi lain ada yang berpendapat bahwa sulitnya menerapkan sistem itu karena latar belakang budaya kita yang tidak mendukung. Mari kita melihat apa betul budaya kita "TIDAK" mendukung sistem meritokrasi yang dapat mengakselerasi reformasi birokrasi di Indonesia. Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan bahwa sesuatu harus diserahkan kepada ahlinya dan kalau tidak maka tunggulah kehancurannya, Ini menunjukkan bahwa norma atau Nilai-nilai dasar kita sebagai seorang muslim yang manyoritas di indonesia sangat mendukung berlakunya sistem Meritokrasi dalam birokrasi dan tentu bertentangan atau tidak sesuai dengan sistem Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Dalam kepustakaan bugis makassar banyak sekali di temukan nilai dan norma yang relevan salah satu diantara nilai budaya yang sangat mendukung penerapan Merit sistem adalah budaya mappasitinaja (kepatutan) : pantas, wajar dan patut: dikatakan bahwa " Ripariajanggi ri ajannge, riparia alaui alau’E, Riparimanianngi maniannge, Ripariasei ri ase’E, Ripariawai riawa’e " (ditempatkan dibarat yang dibarat, ditempatkan ditimur yang ditimur, ditempatkan diselatan yang diselatan, ditempatlkan diatas yang diatas dan ditempatkan dibawah yang dibawah) maknanya bahwa segala sesuatu ditempatkan sesuai dengan kewajaran, kepantasan dan kepatutan.Oleh karen itu dalam manajemen SDM kewajaran , kepantasan, kepatutan karena beradasarkan kapasitas dan komptetnsi yang mereka miliki sangat dihargai. Seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar apabila mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukannya, tidak menyerakahi/melanggar hak2 orang lain, mampu menempatkan orang lain pada tempatnya sesuai dengan haknya yang patut dihormati.
Mengenai sikap ini Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak tawaran adat (para wakil rakyat) dan rakyat wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi, tapi karena Adat (para wakil rakyat) serta rakyat mengaggap beliau mempunyai kapasitas dan kompetensi serta pantas memimpin mereka, maka adat dan rakyat terus berusaha untuk mengangkat beliau sebagai Raja dan pada akhirnya tawaran itu di terima beliau, Dalam lontarak di katakan: Aja Muangoai Onrong, Aja'to muacinnai Tanre tudangeng, de; tu mullei padecengi tana, Risappapo mu'ompo, rijellopo muompo.(jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu menginingkan kedudukan tinggi, jangan sampai kamu tidak bisa memperbaiki negeri, bila dicari barulah muncul, bila ditunjuk barulah mengia).
Salah satu sisi budaya lokal yang berusaha menerapkan sistem meritokrasi yang pernah merwarnai pemerintahan di sulawesi selatan adalah Pada abad ke XVI di Sidenreng Rappang, La Pagala Nene Mallomo Seorang hakim (Pabiccara) menjatuhkan hukuman kepada putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. Tentu kejadian ini mencoreng muka ayahnya yang dikenal hakim yang jujur. Ketika dia ditanya kenapa menghukum putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan hukuman yang ditimpakan kepada putranya. Beliau menjawab: “Ade’E temmakeana’ Temmakke Eppo” Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu” keadilan harus ditegakkan.
Selanjutnya Pada waktu Lamanussa Toakkarangeng menjadi Datu Soppeng, orang Soppeng pernah hampir kelaparan karena kemarau panjang. Beliau menyelidiki penyebab bencana kelaparan itu, tetapi tak ada seorang pejabat kerajaan pun yang melakukan perbuatan sewenang-wenang. Setelah beliau merenung, beliau mengingat bahwa beliau pernah memungut suatu barang di sawah seorang penduduk dan disimpannya di rumahnya sendiri. Perbuatan beliau inilah yang menurutnya menyebabkan mala petaka itu, pikir beliau. Beliau mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri karena tidak ada orang pun yang berani menjatuhkan hukuman kepada diri sang Datu. Hukuman yang dijatuhkan kepada dirinya sendiri adalah berupa denda, yaitu beliau memotong kerbau dan dagingnya dibagikan kepada rakyat. Di hadapan rakyatnya, beliau menyatakan dirinya bersalah karena telah memungut suatu barang dari sawah seseorang dan menyimpannya sendiri. Beliau mengumumkan barang tersebut di tengah pesta tudang sipulung (duduk bersama), tetapi tak seorang pun yang mengaku telah kehilangan sesuatu. dan banyak lagi cerita lai.
Dari pemaparan diatas dapat di simpulkan bahwa budaya kita sangat mendukung penerapan sistem yang baik dalam birokrasi kita, dan kita tidak dapat berdalih bahwa memang budaya timur kita tidak mendukung sistem birokrasi yang baik, masalahnya kemudian tentu berkembangnya sistem Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dalam manajemen sumber daya manusia birokrasi kita dilatar belakangi oleh berbagai faktor dan salah satu faktor utama adalah sumber daya manusia sendiri terutama adanya kepemimpinan yang mampu melakukan perubahan-perubahan yang signifikan yang memulai dari dirinya sendiri sehingga menjadi teladan "mengalir" melalui kebijakan dan aturan-aturan yang konsisten dan signifikan kesemua level birokrasi...smoga.
No comments:
Post a Comment