Saat itu malam gelap
gulita. Madinah telah tertidur lelap. Para penduduknya telah dibuai mimpi,
kecuali seorang yang masih terjaga. Karena, gelisah diusik rasa tanggung jawab
maha dahsyat yang menggantung di lehernya. Dia selalu gelisah seperti itu,
sehingga tidak pernah sekejab pun dapat berdiam diri. Ditelusurinya jalan-jalan
dan lorong sempit kota Madinah yang sepi itu. Bertemankan kegelapan malam yang
hitam pekat bagai tirai dan angin dingin menyusup tulang.
Orang itu keluar dan
berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat. Dipasangnya
telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga
karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau
barangkali ada seseorang kelana yang terlantar.Ia selalu mengamati kalau-kalau
ada kepentingan umatnya yang luput dari perhatiannya karena ia yakin betul
bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawabannya. Diperhitungkan
senti demi senti, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewat dari
penglihatan Allah swt.
Orang itu adalah Umar bin
Khaththab ra.; amirul mu’minin.
Sudah panjang jalan dan lorong dilaluinya malam itu hingga
tubuhnya letih. Keringat mengalir di sekujur badan meski udara dingin membalut.
Oleh karena itu, disandarkannya tubuh besarnya pada dinding gubuk rombeng.
Saking lelahnya, ia duduk di tanah mencoba istirahat sejenak. Jika letih
kakinya agak berkurang, ia bermaksud melanjutkan perjalanan ke masjid. Tidak
lama lagi fajar menampakkan diri, azan Subuh segera berkumandang. Saat bersamaan seorang gadis remaja berpakaian compang camping
baru saja memerah susu kambingnya untuk dijual besok pagi. Di luar rumahnya
yang rombeng, hampir roboh serta dikelilingi belukar meranggas. Penghuninya
cuma dua orang, ibu tua dan anak gadisnya yang meningkat remaja. Tidak ada
orang lelaki di rumah mereka, sebab ayah si gadis sudah meninggal dunia.
Tiba-tiba Khalifah yang sedari tadi bersandar, mendengar ada
suara lirih dari dalam gubuk itu. Suara itu seperti percakapan dua orang
wanita. Yang satu ibu bagi yang lain, agaknya mereka membicarakan susu yang
baru saja diperah dari kambing untuk dijual ke pasar pagi hari nanti. Si ibu meminta anak gadisnya mencampur susu itu dengan air.
Dengan begitu, akan jadi lebih banyak dan tentunya uang yang diperoleh nantinya
akan bertambah, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka hari itu.
“Tidakkah kaucampur susu daganganmu dengan air? Subuh telah
datang!” kata sang ibu. Anak gadisnya menjawab, “Bagaimana mungkin aku
mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarang mencampur susu dengan
air?” Sang ibu menimpali, ”Orang-orang telah mencampurnya. Kau campur saja.
Toh, Amirul Mukminin tidak akan tahu.” Sang gadis menjawab,” Jika Umar tidak
tahu, Tuhan Umar pasti tahu. Aku tidak akan mencampurnya karena Dia telah
melarangnya.” Dialog ibu dan anak ini sungguh sangat
menyentuh Umar. Khalifah yang terkenal keras itu pun luluh dan terharu hatinya.
Beliau sangat kagum dengan ketakwaan gadis miskin anak penjual susu itu. Ucapan
terakhir gadis itulah yang membuat airmata Umar berderai. Ia tak kuasa menahan
haru yang memenuhi dadanya. Airmata itu bukan airmata kesedihan. Tapi, airmata
bangga dan penuh kegembiraan. Kebanggaan akan perilaku kesalehan gadis pemerah
susu yang luar biasa.
Di usianya yang masih remaja, gadis itu tumbuh dalam sosok
kesahajaan. Ditempa dalam suasana kerja keras, membanting tulang siang malam
menyiapkan perahan susu jualannya. Tak ada keluh kesah, semuanya dilakoni
dengan penuh bakti kepada ibu tercinta. Hal yang menarik lagi adalah kematangan
jiwanya melebihi batas usia remajanya. Kesahajaannya tampak dalam penampilan,
tutur kata dan cita-cita. Dalam dirinya hanya ada satu keinginan yang kuat
yaitu agar Allah meridhai semua yang dilakukannya. Ajakan sang ibu ditepisnya
mentah-mentah karena dinilai bertentangan dengan hukum. Namun begitu hal tersebut tidak lantas membuat hati si ibu
tersinggung. Bahkan dia merasa tercerahkan dengan kesalehan putri semata
wayangnya ini. (sumber:dakwatuna,com)
No comments:
Post a Comment