BAHARUDDIN
LOPA
SOSOK
PENEGAK HUKUM YANG JUJUR, BERANI, KONSISTEN DAN SEDERHANA
Beberapa tahun yang silam, panggung hukum Indonesia pernah geger
oleh munculnya sosok pendekar hukum yang
sederhana, jujur, pemberani. Baharuddin Lopa, alias Barlop, demikian pendekar
hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x
11 meter, di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Kepergian
beliau untuk selamanya tak lama setelah beliau menunaikan ibadah umrah di Tanah
Suci Mekah, menyisakan duka“kerinduan” akan sosok penegak hukum seperti beliau
negeri ini. Kerinduan itu bukan tanpa alasan berbagai kisah keteladan beliau
selama hidupnya sebagai sosok penegak hukum yang pemberani, sosok yang bersih,
sederhana dan bertaqwa, menjadi sosok yang dirindukan banyak orang ditengah langkanya
tokoh seperti dia di negeri ini.
Ketika menjabat kajati Sulsel tahun 1980an, Lopa
tidak segan-segan menyeret Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan dengan
tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar. Tony Gozal dikenal kebal
hukum karena kedekatannya dengan petinggi elit negeri ini. Akibat dari
keberanian ini Lopa dimutasi ke Jakarta menjadi staf Ahli Menteri Kehakiman.
Sepak terjang Lopa tidak sebatas itu, ketika Menjabat Menteri Kehakiman dan
HAM, Lopa sukses mengirim Bob Hasan kepenjara Nusa kembangan. Lopa juga
menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam
kasus korupsi. Pribadinya yang sederhana mewakili kerinduan banyak orang akan
kehadiran pejabat bersih, yang makin langka di negeri ini.
Cerita tentang Lopa yang jujur menjadi semacam
legenda di panggung hukum nasional. Ada banyak cerita tentang kejujuran mantan
Jaksa Agung dan mantan Menteri Kehakiman ini. Ketika Lebaran
menjelang, ia tegaskan kepada anak buahnya untuk tidak menerima parsel Lebaran.
Ia menggelar jumpa pers yang di antaranya mengumumkan, seluruh aparat kejaksaan
Sulawesi Selatan tidak terima hadiah dalam bentuk apa pun. Ketika tiba di
rumah, ia melihat ada dua parsel di rumahnya. ”Eh, siapa yang kirim parsel ke
sini,” ucap Lopa dengan raut masam. Seisi rumah bungkam karena tahu Lopa geram.
Lopa kemudian sangat terkejut ketika melihat salah satu parsel tersingkap 10
cm. ”Aduh, siapa yang membuka parsel ini?” Seorang putrinya maju ke depan dan
dengan jujur menyatakan dialah yang buka dan mengambil sebuah cokelat. ”Mohon
maaf Ayah,” ujar anak perempuan itu. Lopa menghela napas, ia tidak bisa marah
kepada putrinya, tetapi tidak urung ia memperingatkan untuk tidak melakukan hal
itu lagi. Pria Mandar ini menyuruh putranya membeli cokelat dengan ukuran dan
jenis yang sama. Cokelat itu dimasukkan ke bungkusan parsel dan segera
dikembalikan kepada pengirimnya.
Kisah
lain dituturkan oleh sahabat dan rekan kerjanya Prof Dr. Ahmad Ali Guru besar
Fakultas hukum Unhas: Aisyah, salah satu putrinya, juga punya pengalaman
unik. Pada 1984, ia menjadi panitia sebuah seminar di kampusnya, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Kekurangan kursi, Aisyah datang ke kantor ayahnya untuk
meminjam kursi di aula Kejaksaan Tinggi Sul-Sel. Sebagai jawabannya, Lopa
menarik salah satu kursi lipat dan memperlihatkan tulisan di baliknya. “Ini,
baca. Barang inventaris Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, bukan inventaris Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin. Jelas toh, ini milik kejaksaan dan tidak bisa
dipinjamkan,” kata Lopa. (tempo interaktif.com). Pada suatu Minggu di tahun 1983,
Lopa sang Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel diundang menjadi saksi pernikahan.
Tuan rumah, Riri Amin Daud, yang juga kerabatnya, dan pagar ayu telah menunggu
kedatangan tamu amat terhormat ini. Lama ditunggu, mobil dinas berpelat DD-3
tak kunjung muncul. Tahu-tahu suara Lopa sudah terdengar dari dalam rumah.
Rupanya, ia bersama istrinya datang dengan pete-pete. "Ini hari Minggu,
ini juga bukan acara dinas. Jadi, saya tak boleh datang dengan mobil
kantor," ia menjelaskan. Bahkan telepon dinas di rumahnya selalu ia kunci.
Lopa melarang istri ataupun anak-anaknya menggunakannya. Semasa menjabat Kepala
Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, ia sampai memasang telepon koin di rumah jabatannya
untuk memilah tagihan.
Ada cerita menarik dari JK tentang kesederhanaan
Lopa. Suatu hari, pengusaha pemegang agen tunggal Toyota di kawasan timur
Indonesia ini di- telepon Lopa. Ia mau membeli mobil. Di benak Jusuf, sebagai
Dirjen Lapas, Lopa pasti mau sedan kelas satu. Toyota Crown ia tawarkan. Tapi
Lopa malah setengah menjerit mendengar harganya, yang sekitar Rp 100 juta itu.
“Mahal sekali. Ada yang murah?” kata Lopa. Cressida seharga Rp 60 juta pun
masih dianggap mahal. Akhirnya, Jusuf menyodorkan Corona senilai Rp 30 juta.
Harganya tak ia sebutkan, karena ia berniat memberikannya untuk Lopa. “Begini
saja. Tidak usah bicara harga. Bapak kan perlu mobil. Dan jangan khawatir, saya
tidak ada hubungan bisnis dengan lembaga pemasyarakatan. Saya kirim mobil itu
besok ke Jakarta,” kata Jusuf. Lopa kontan menolak. Yang lucu, malah Jusuf si penjual
yang sampai menawar harga. “Begini saja. Saya kan pemilik mobil, jadi terserah
saya mau jual berapa. Saya mau jual mobil itu Rp 5 juta saja.” Lopa masih
menolak, “Jangan begitu. Kau harus jual dengan harga sama seperti ke orang
lain. Tapi kasih diskon, nanti saya cicil. Tapi jangan kau tagih.” Akhirnya,
tawar-menawar aneh itu mencapai kata sepakat juga. Lopa akan membelinya Rp 25
juta. Uang muka sebesar Rp 5 juta langsung dibayar Lopa, diantar dalam
bungkusan koran bekas. Selebihnya, betul-betul dicicil sampai lunas selama tiga
tahun empat bulan. “Kadang-kadang dibayar Rp 500 ribu, kadang-kadang sejuta,”
tutur Jusuf Kalla, mengenang. (Tempo interaktif.com)
Suatu hari, Tak seperti para petinggi Republik yang
tiba-tiba saja kebanjiran “hibah” semasa menjabat, Lopa mesti menabung sen demi
sen gajinya untuk merenovasi rumah sederhananya di pinggiran Kota Makassar, di
Jalan Merdeka 4. Salah satu tabungannya adalah sebuah celengan berisi uang
receh. Abraham Samad (Sekarang ketua KPK), bercerita pernah melihat Lopa
membuka sejumlah celengannya. Ternyata uang itu belum cukup untuk membeli balok
kayu dan batu. “Terpaksa pembangunan rumahnya ditunda dulu,” tuturnya
mengenang. Padahal, ketika itu Lopa telah menjabat sebagai Direktur Jenderal
Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Lapas). Selain dari gaji, ia punya mata
pencaharian lain. Bukan menjadi konsultan atau komisaris perusahaan
konglomerat, melainkan membuka wartel dengan lima bilik telepon dan penyewaan
playstation di samping rumahnya di Pondokbambu, Jakarta. Ia juga rajin menulis
kolom di berbagai majalah dan harian. Ia terang-terangan mengakui, itu caranya
menambah penghasilan dari keringat sendiri.
Kisah lain ketika beliau hendak menunaikan ibadah
haji. Seorang teman sekolahnya sejak SD hingga perguruan tinggi, yang sukses
sebagai pengusaha, memberinya 10.000 dollar AS. Lopa terkejut dengan pemberian
ini. Pada kesempatan pertama ia datang ke rumah temannya dan mengembalikan uang
itu.Lopa berkata, ”Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula
usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima
uang ini. Kita bersahabat saja, ya.” Pengusaha itu tidak bisa berkata apa-apa
kecuali mengusap air matanya karena terharu. (dikutip dari berbagai sumber)