Mewujudkan Netralitas Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
Dalam
Era Otonomi Daerah
Pendahuluan
Reformasi di bidang
kepegawaian yang merupakan konsekuensi dari perubahan di bidang politik,
ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak paruh pertama tahun 1998
ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian. Peraturan perundang-undangan yang merupakan perubahan dan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dengan pokok bahasan yang
sama tersebut, kemudian diikuti dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, baik
yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presiden (Keppres),
untuk menjamin terlaksananya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik
dan terarah.
Pada
dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang
serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah
ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat
diperlukan. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran
yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas
atas pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga desentralisasi dan otonomi
terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada
daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat
setempat. Ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Artinya
pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang
diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga
dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan
tersebut. Dalam hubungan ini maka manajemen dan administrasi PNS harus
dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi-fungsi pemerintahan lain telah
diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten dalam rangka otonomi
daerah yang diberlakukan saat ini.
Prasyarat
Netralitas
Untuk mewujudkan ketiga peran tersebut diharapakan dalam
manajemen sistem kepegawaian perlu selalu ada:
(a)
Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak
perlu kuatir akan masa depannya serta ketenangan dalam mengejar karier.
(b)
Balas jasa yang sesuai untuk menjamin
kesejahteraan PNS beserta keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan
korupsi, baik korupsi jabatan maupun korupsi harta, menjadi berkurang, kalau
tidak mungkin dihapuskan sama sekali dan
(c)
Promosi dan mutasi yang sistematis dan
transparan, sehingga setiap PNS dapat memperkirakan kariernya dimasa depan
serta bisa mengukur kemampuan pribadi.
Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam
diri setiap PNS, apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk
melepas jabatan yang didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan
kehilangan jabatan tersebut tidak perlu dikuatirkan. Apabila sistem penggajian
sudah ditata rapih, setiap PNS tidak perlu mengejar jabatan hanya sekedar untuk
mempertahankan kesejahteraan hidup bersama keluarganya. Selain itu, sistem
kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria tersebut akan menjaga integritas dan
kepribadian setiap PNS yang memang sangat diperlukan untuk mewujudkan peran
sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara seperti diamanatkan
dalam Undang-undang No. 43 Tahun 1999.
Masalah
Otonomi
Dalam
perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah yang
menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya otonomi daerah. Dari berbagai
permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai persoalan utama yang meliputi:
(a)
Dengan
adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan
jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi bila dalam
pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit
sistem” tetapi lebih pada “marriage sistem (sistem kekeluargaan)”
yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan
paradigma lama yang telah berakar selama 33 tahun itu, kewenangan yang besar
kepada daerah tersebut dimungkinkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
96 Tahun 2000 yang memungkinkan Gubernur, Bupati dan Walikota mengangkat dan
memberhentikan PNS di daerahnya mulai dari pangkat I/a sampai dengan golongan
IV/e, Pembina Utama. Suatu kewenangan yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah
ini, hanya dimiliki oleh Presiden dan dilakukan secara terpusat.
(b)
Kualitas
PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut. Apalagi kalau
mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari “Daerah sentrisme”.
Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka
pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik,
kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang
multi partai, pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari
“sindrom” kepartaian.
(c)
Dalam
waktu lima tahun kedepan, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak
pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir (b) tersebut kapasitas
kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan manajemen kepegawaian ini masih
menjadi pertanyaan besar. Karena manajemen kepegawaian yang baik harus
dilaksanakan oleh suatu badan yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan
tunduk pada salah satu kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang
masih sangat terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian
diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi,
apabila manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat.
Paling tidak untuk lima tahun kedepan.
Langkah
Kebijakan
Untuk mengurangi beban persoalan di bidang kepegawaian
yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
secara nyata dan luas tersebut, beberapa langkah kebijakan masih mungkin
diusulkan dalam waktu dekat.
Pertama, penetapan formasi
PNS oleh pemerintah pusat berdasarkan standar analisis kebutuhan pegawai sesuai
beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan. Penetapan formasi ini diikuti
pula dengan penerapan standar dan prosedur pengangkatan dalam jabatan yang
berlaku umum secara nasional. Upaya ini dimaksudkan untuk menghindarka
kesenjangan dikalangan PNS di daerah baik dari segi jumlah, kualitas,
kepangkatan maupun jabatan yang dipangkunya.
Kedua, sistem evaluasi
kinerja PNS yang didasarkan atas standar prestasi kerja dan kompetensi jabatan.
Upaya ini dimungkinkan bila terdapat sistem dan program seleksi Calon PNS (CPNS)
yang seragam dan mengacu pada “merit sistem”. Untuk itu perlu digunakan
alat bantu komputer (Computer Assisted Test) sehingga obyektifitas dalam
penerimaan CPNS dapat dipertahankan. Terutama untuk seleksi CPNS yang
berpendidikan Sarjana dan Pascasarjana serta profesional.
Ketiga, pengembangan secara
bertahap kemampuan kelembagaan yang menangani kepegawaian di daerah dalam
jangka waktu lima tahun dimulai saat awal pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000, lembaga
ini dinamakan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang mempunyai hubungan fungsional
dan profesional baik langsung dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang ada di
pusat, maupun dengan kantor-kantor regional BKN yang tersebar pada delapan wilayah
kerja dewasa ini.
Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara
sangat diperlukan bukan saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik
ditingkat nasional dan internasional, tetapi terlebih lagi untuk mengisi
pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah kebijakan tersebut berintikan
pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional, netral dari pengaruh
kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta mempunyai kemampuan
berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangasa serta Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Penutup
Dalam
masa mendatang manajemen kepegawaian akan dihadapkan pada berbagai tantangan
yang tidak ringan. Pertama, sejauh mana sistem kepegawaian mampu
bertahan dari tekanan politik. Dalam sistem multipartai yang meyebabkan
pemimpin institusi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, berasal dari
partai-partai politik, mampukah PNS bersikap netral? Artinya jenjang karier
dari PNS telah tersusun rapih, sehingga tidak ada jabatan karier yang akan
diisi oleh personil dari suatu partai atau golongan tertentu saja. Kedua,
sejauh mana sistem kepegawaian mampu menterjemahkan setiap peraturan
perundangan yang dikeluarkan pemerintah tanpa meninggalkan azas netralitas dan
peran sebagai perekat kesatuan dan persatuan. Dalam hal ini, profesionalitas
dan integritas dalam diri setiap PNS dipertaruhkan. Untuk itu perlu dijaga
tingkat kesejahteraan dan stabilitas dari PNS beserta keluarganya. Ketiga, sejauh
mana “budaya kepegawaian” dapat ditumbuhkan. Artinya ada rasa kebanggaan
menjadi PNS. Ini sangat berhubungan dengan tantangan pertama dan kedua. Sampai
dimana netralitas dan profesionalitas PNS masih dapat diharapakan. Justru untuk
mempertahankan kedua sifat tersebut, pengaturan kepegawaian yang terpusat masih
diperlukan. Keempat, sejauh mana manajemen kepegawaian mampu mengikuti
perkembangan teknologi informasi. Dalam era “pemerintahan elektronik (E-Government)”
setiap PNS dituntut untuk tidak “buta huruf” akan teknologi informasi (IT).
Artinya pemakaian komputer serta media elektronik lain harus sudah dikuasai
oleh setiap PNS.
Upaya
untuk melaksanakan semua peraturan perundangan di bidang kepegawaian tidak
selamanya berjalan baik. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang sering
berbeda atas suatu peraturan perundangan yang sama. Penjelasan yang selalu
diberikan untuk setiap peraturan perundangan yang diterbitkan agaknya belum
mencukupi untuk memahami secara benar makna dan intisari dari suatu peraturan
perundangan tersebut. Apalagi sejak bergantinya pimpinan pemerintahan pada
triwulan pertama tahun 1998, kebiasaan membuat naskah akademik yang
komprehensif dan terarah sebelum suatu rancangan peraturan perundangan
dibicarakan, mulai diabaikan. Keinginan untuk mengejar jumlah kuantitatif
ternyata mampu mengalahkan kualitas isi peraturan perundangan itu sendiri.
Konsistensi kurang dijaga, kecermatan diabaikan, semata-mata untuk mengejar
target kuantitatif. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah bergegas
diterbitkan, susul menyusul tanpa mengindahkan perbenturan dan bahkan adanya
perbedaan substansial diantara berbagai peraturan perundangan tersebut.
Keputusan Presiden segera dikeluarkan dan kalau perlu diganti seminggu
kemudian. Tertib administrasi tidak lagi menjadi patokan. Kerancuan pelaksanaan
peraturan perundangan dianggap sebagai “gonggongan anjing” belaka. Kenyataan
tersebut yang perlu mendapat perhatian dan perbaikan pada waktu terdekat.
Daftar Pustaka
Suwandi,
Made, 2001, Agenda Kebijakan Reformasi Pemerintahan Daerah, Sebagai Tindak
Lanjut Undang-undang Nomor 22 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999,
Jakarta (hand aut)
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.